(0,0) ; epilog.

narasi epilog socmed fiction Titik Nol (0,0).

Tags: Haikyuu. F/M Pair. Sawamura Daichi. Michimiya Yui. Married!DaiYui. Ditulis dalam bahasa Indonesia, sudut pandang orang ketiga.

“Wah, lucu banget.”

Yui tersenyum lembut. “Tapi kasihan kan, tokoh utamanya?”

“Tapi kan akhirnya happy ending!” tutur yang lebih muda. “Aku mau deh mbak begini, daripada ketemu cowok nggak jelas.”

“Jadi Yuki tuh capek loh, emang kamu tahan?”

“Iya sih..” gadis itu bergumam. “Eh tapi mbak, kok kisah Yuki sama Daishi agak mirip mas Daichi sama mbak ya? Apalagi waktu bagian lamaran ini loh.”

“Ya mirip dong.” Daichi muncul dari muka pintu, tertawa melihat adiknya terlalu lugu. “Yang nulis kan mbak kamu.”

“HAH? Beneran?”

“Kaget banget ya? Ibu nggak cerita kerjaan mbak apa?” Yui tertawa kecil.

“Nggak.. Ibu cuma bilang mbak atlet takraw. Mas ih, nggak cerita.” si adik merajuk.

“Ya ngapain mas cerita? Toh kamu nggak nanya.” jawab Daichi, lalu melipir ke kamar mandi.

“Mbak kapan nulis lagi? Mbak udah vakum berapa lama ya? Dua tahun?” tanya adik ipar Yui padanya.

“Belum tahu, editor mbak juga lagi sibuk ngurusin nikahan.” jawab Yui. “Tapi tiap ada kesempatan, mbak masih sering nulis sih di blog.”

“Iya, aku sering baca kok. Eh iya, aku minta tanda tangan dong mbak!” Si adik ipar berlari ke kamarnya, mencari pulpen tebal untuk tanda tangan.

Yui menggeleng pelan dengan senyuman yang tertinggal. Sudah setahun sejak ia secara sah menggandeng nama Sawamura. Kini ia tinggal bersama Daichi dan adik iparnya yang tak lama lagi resmi menjadi mahasiswa.

“Yui? Sendiri aja?”

“Iya, adik lagi nyari pena, mau tanda tanganku katanya.” Yui tersenyum. “Capek? Aku buatin teh mau?”

“Minum wedang aja gimana?” tanya Daichi lalu mengecup puncak kepala Yui.

“Si adik gimana? Ditinggal?”

“Ya biarin aja toh? Ntar juga kalau dia udah masuk kuliah bakal ngekos, simulasi tinggal sendirian.” ejek Daichi, mengundang cubitan dari adiknya yang baru saja tiba. Bukannya mengaduh, Daichi malah tertawa.

“Ini novel-novelnya mbak.”

Yui tersenyum hangat melihat empat novelnya yang agak lecek—pertanda sering dibaca—ada di hadapannya, lalu menandatangani tanpa basa-basi.

“Ntar lagi mas mau keluar, pacaran sama mbak. Jaga rumah, jangan ikut.”

“Bayarannya martabak telur daging.” balas si adik sengit.

“Dasar karnivora.”

“Mbak, lihat mas tuh.”

“Iya, nanti mbak belikan.” Yui mengelus rambut panjang si adik ipar. “Aku ganti baju dulu, aneh kan kalau pakai daster.”

Yui berjalan menuju kamar, tanpa sadar senyumnya merayap.

Tidak perlu kata-kata romantis untuk membuat hati Yui menghangat walau agak porak-poranda; hanya butuh Daichi yang menjadi dirinya seperti biasa—memberinya kecupan manis di kening setiap pulang kerja, senyuman yang tulus ketika netra saling menatap, dan cara ia memanggil namanya—tidak seorangpun bisa melakukan hal yang sama sepertinya.

Langkah Yui ringan karena akhirnya ia punya waktu untuk jalan berdua. Kesibukan masing-masing membatasi interaksi yang kini harus mereka curi-curi.

Belum sempat Yui menutup pintu, Daichi memeluknya dari belakang.

“Eh, kamu ngapain ikutan?!”

“Nanti kamu diculik, biar aku jagain sambil ganti baju.”

Yui tertawa.

“Ada-ada aja.”

Yui bahagia.