(0,0) ; narasi dua.
narasi bagian dua socmed fiction Titik Nol (0,0).
Tags: Haikyuu. F/M Pair. Sawamura Daichi. Michimiya Yui. DaiYui. Ditulis dalam bahasa Indonesia, sudut pandang orang ketiga.
Pagi itu cukup sejuk, matahari belum terlalu terik meski sisa dua puluh menit menuju pukul delapan. Terlihat beberapa orang berlari, satu-dua keluarga ditemani anak-anak mengayuh sepeda.
Yui tersenyum. Diiringi musik klasik ia berlari konstan. Kepalanya dihiasi bando kucing yang biasanya dipakai setiap cuci muka malam hari, lantaran bando plastiknya patah—terima kasih pada Mao sang editor.
“Serius banget.”
Yui menoleh lalu mengernyitkan dahi. Manusia yang berlari di pikirannya pun kini berlari di sekitarnya juga, dan Yui jengah.
“Sawamura?” tanyanya, menghentikan musik dari headset. “Lo dari rumah? Jauh banget lari sampai sini.”
“Nggak kok, tadi malam nginap di rumah Asahi. Rumahnya dekat dari sini.”
“Oh gitu.”
Percakapan berhenti di sana, namun langkah mereka setara—malah harmonis, dan ia takut harus berlari sejauh apa bersamanya. Yui meringis, tahu kalau kisah cintanya tak bisa seiring seperti ini.
“Jadi ingat zaman SMA.” ujar Daichi tiba-tiba.
Yui cuma mengangguk dan tersenyum kecil.
Gue tiap liat lo keinget masa SMA mulu.
“Kamu makin kuat.” tukas Daichi. “Dulu kamu lari dua putaran aja ngos-ngosan.”
“Ya gimana, makin kesini gue makin atletis karena sering lari.”
—dari kenyataan, sambungnya dalam hati.
“Kamu masih main voli?”
“Nggak, gue main takraw.”
“Wow.” Daichi berhenti sejenak, memandangi wajah Yui yang memerah berkeringat. “Sejak kapan?”
“Kurang lebih empat tahun.” jawab Yui sambil berjalan.
“Habis SMA banget dong? Ikut turnamen juga?”
Yui mengangguk. “Tapi tahun kedua deh baru gue ikutan, harus latihan banyak biar nggak nyusahin tim.”
Daichi tersenyum terkesima. “Keren.”
Yui bingung entah debaran di hatinya ini adalah efek samping berlari atau karena senyum dan tutur kata Daichi yang membuatnya lupa diri, satu yang pasti adalah suara detak yang begitu kuat hingga ia takut seluruh penjuru dunia mendengar.
“Thank you.”
“By the way, udah sarapan belum? Bareng yuk.” ajak Daichi.
Untuk kedua kalinya Yui mengernyit. Ia bingung kenapa Daichi seperti ingin mendekatinya akhir-akhir ini.
Ha, yang benar aja.
“Oke. Mau sarapan apa? Di dekat sini ada bubur ayam enak, gimana?”
“Boleh.”
Kini mereka berjalan beriringan. Salahkan tangan yang bersinggung; benteng pertahanan Yui hampir runtuh diserang sentuh, dan ia sibuk menyusun batu, membangun akal sehatnya sebelum benar-benar lepas kendali.
Bohong jika ia tidak merasakan gemuruh di dadanya, seperti elegi yang memanggil badai.
Tiba di warung bubur, Daichi meminta Yui mencari bangku lebih dulu. Yui hanya mengangguk, beruntung juga karena ia diberi waktu sesaat untuk mengontrol emosi.
Naas, semuanya sia-sia. Daichi mendatanginya dengan jaket yang sudah dilepas, memberikannya kepada Yui yang termangu.
“Dipakai ya, baju kamu basah. Maaf jaketnya bekas aku.” Daichi menggaruk kepalanya, sedikit rona merah di telinganya membuat Yui juga malu-malu.
Yui lupa apa itu kasmaran, dan mungkin saja hari ini ia diizinkan untuk merasakannya kembali.
“P-perlu gue balas pakai jaket juga nanti?” tanyanya terbata.
Daichi menggeleng dan tersenyum lembut.
“Pakai alamat rumah kamu aja cukup.”