(0,0) ; narasi tiga.

narasi bagian tiga socmed fiction Titik Nol (0,0).

Tags: Haikyuu. F/M Pair. Sawamura Daichi. Michimiya Yui. DaiYui. Ditulis dalam bahasa Indonesia, sudut pandang orang ketiga.

Bohong kalau Yui bilang dirinya tak gentar.

Televisi menyala, tapi pikirannya kemana-mana. Bahkan satu toples stik keju tak berarti, karena yang ia gigiti malah jari sendiri.

Katanya bisa dengan berpura-pura hingga terbiasa, nyatanya Yui malah semakin tersiksa, dan akhirnya memilih jujur saja. Ia tak menyesal, tidak sampai Daichi malah minta izin bertemu. Bagaimana bisa ia menolak saat hatinya juga dirundung rindu?

Hentak kaki kiri kanan bergantian. Sebentar lagi kisah Yui akan diadili, entah ia harus dikenai hukuman mati atau malah tidak bersalah.

Gemetar lututnya kala didengarnya ketukan, sebab gugup berhasil melingkup. Membuka pintu, yang ditunggu datang dengan bungkusan makanan.

“Lama ya? Aku beli jajanan dulu tadi.”

Yui mempersilakan ia masuk. “Ngapain bawa jajanan sih? Disini juga ada.”

“Masa bertamu nggak bawa apa-apa?” Daichi tersenyum. “Ini es buah by the way.”

“Kok nggak bilang dari tadi?” mata Yui berbinar mendengar nama itu lalu segera mengambil mangkuk dari dapur, membuat Daichi tertawa.

Mereka duduk lesehan menghadap televisi, sibuk menikmati jajanan. Tidak ada yang memulai pembicaraan, entah karena grogi atau sihir makanan yang terlalu memikat.

“Udah makan siang?”

“Udah.” jawab Daichi.

Hening lagi.

“Michimiya.. soal yang kita bicarain di chat..”

“....”

“Aku.. aduh, gimana ya mulainya.” Daichi menggeser badannya, menghadap Yui yang matanya masih teguh berporos pada mangkuk es buah.

“Soal itu.. kalau aku pelan-pelan, kita bisa membaik lagi kan?”

“Kayak dulu sebelum gue confess?”

“Aku pengen kita deket—”

“Coba aja kalau gue nggak confess, pasti hubungan kita nggak hancur.” sanggah Yui cepat.

“Sebenarnya yang hancurin semuanya aku, kan?”

Yui tercekat. Senyum dipaksanya hadir walau hambar.

“Kamu yang paling tahu itu, Yui.”

Yui membiarkan suara televisi mewakilinya. Agak terkejut juga, kala didengar namanya dengan indah keluar dari mulut sang tuan.

“Aku minta maaf. Aku paham kenapa kamu bersikap kayak sekarang, dan memohon untuk kamu lupain penolakanku juga nggak mungkin. Aku mau kesempatan bukan untuk jadi diri kita yang dulu.

“Aneh kan, kalau kita udah sejauh ini cuma untuk kembali?

“Aku yang dulu naif dan bodoh. Mana mungkin aku perlakuin kamu yang sekarang dengan diri yang kayak gitu.”

Aneh, rasanya semua jajanan di perut Yui menghilang tanpa ia merasa lapar. Mungkin itu tumbal untuk jantungnya yang berusaha tetap berdetak.

“Kamu.. suka aku atau gimana?” tanya Yui.

“Aku nggak paham sih, kamu bisa bantu?” pinta Daichi.

“Aku nyaman, dan waktu kamu bilang suka itu aku agak takut? Kalau ntar aku ninggalin kamu waktu pendidikan gimana, apa LDR tanpa tukar kabar nggak masalah, kamu kuliah di Bandung sementara aku di Semarang..

“Buat hubungin keluarga aja jarang. Aku nggak bisa tanya gimana hari kamu tiap hari meskipun aku mau tahu. Dan dengan keadaan begitu, aku malah tahan kamu dengan embel-embel pacar, padahal kamu berhak didengar dan disayangi orang lain. Gitu..”

Yui melongo tak percaya, setengah menyangkal adanya kebenaran di tiap kata yang terlontar.

Masa iya?

Ditatapnya pria yang tertunduk itu lekat-lekat, membuatnya teringat akan dirinya saat itu—saat keberaniannya lenyap bersama pengakuan, enggan mendapat jawaban.

Apa gue dulu begini ya di mata Daichi?

“Kamu nggak naif sih sampai mikirin semuanya kayak gitu..” sangkal Yui. “..tapi bodoh, soalnya kamu nggak bicara tentang ini waktu nolak aku.”

“Iya kan..” Daichi menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Dan lagi, suara televisi unjuk diri. Keduanya sibuk bermonolog dalam pikiran, membuat teori-teori yang masuk akal setelah semua terungkap. Berbeda dengan Daichi yang terlihat gugup setengah mati, Yui malah seperti tak bereaksi.

Ini ditolak lagi?

“Kapan?”

“Hah? Apanya?” Daichi menatap sang puan dengan raut bingung.

Yui menghela nafas.

“Kapan mau cari kado Ibu?” tanyanya lagi, melepas senyum yang gagal sembunyi.