Kalah.

Tags: Haikyuu. Azumane Asahi. Insecurity. Mention of alcohol and cigarettes. Ditulis dalam bahasa Indonesia, sudut pandang orang ketiga.

Pengingat: Fiksi ditulis untuk hiburan semata, tidak berkaitan dengan cerita asli.


Kalau ditanya peka, Asahi paling jago. Terutama tentang perasaannya.

Harus terjebak dalam sesak, menyelam dalam diam, merutuk dalam suntuk. Untuk setiap detik yang habis demi mencari tabib, Asahi berhak untuk rehat sejenak.

Lukanya itu memar—dalam, berbekas, lama sembuhnya—hasil bentur biru yang pilu dan takdir yang getir. Apa daya Asahi yang hanya mampu membeli plester luka dan obat merah.

Merasa muak dengan alkohol dan nikotin, Asahi bangkit dari tempat tidurnya. Sepatu olahraga itu sudah lama tidak dipakai. Benda mati yang menyimpan banyak rasa, agak seperti dirinya.

Bedanya, yang mati itu hatinya. Soal fisik, dia itu sempurna.

Menarik nafas dalam-dalam, Asahi memantapkan langkah untuk keluar dari persembunyiannya. Aktivitas lari sore yang dulu menjadi rutinitas kini ia coba rintis kembali.

Berjalan. Semakin lama ayunan langkah semakin cepat hingga akhirnya stabil.

Mendekati lapangan, mulai terlihat rumah keduanya saat SMA silam. Kini setelah menyandang gelar alumni, ia tidak pernah lagi menjejaki tempat itu. Bahkan setiap dua sahabat karibnya—yang kini menempuh pendidikan lebih lanjut—merancang temu, ia selalu siaga dengan buku Excuse 101: Seni Mengatakan Tidak Tanpa Menyakiti Perasaan hasil brainstorm setiap malam.

Samar suara bola menghantam lantai kayu terdengar, diiringi suara teriakan dan peluit. Suara yang dulu menemaninya seperti lagu country favoritnya di jalan pulang sekolah, meski ia harus tampil sebagai generasi delapan puluhan karena seleranya.

“Nice serve, Yamaguchi!”

“Hinata, nice cover!”

“Kageyama!! Bagi aku bolanya!!”

Bertumbuh dengan baik, ya? Mengapa saat semua memijak fast forward, justru dirinya yang terjebak dalam jeruji rewind?

Tidak adil.

Lalu, selama ini usahanya bernilai apa? Omong kosong? Jadi, saat itu dia harus mengayuh pedal sekuat apa lagi?

Dimana salah itu berada?

Sesal dirasa. Lebih baik ia menetap di rumah, berkutat dengan nelangsa. Persinggahan yang hanya menebar garam di atas luka, mempersempit ruang untuk sedikit cinta diri yang mati-matian ia beri.

Asahi hanya berjalan kaki. Kalau-kalau sesak ini hanya 'kan membawanya mati.

Berjalan. Semakin lama ayunan langkah semakin lambat hingga akhirnya berhenti.

Ia tahu jarum jam tak berputar ke arah kiri.

Bukan ia teringat lagi, namun hatinya memang sudah berakar di sana.

Kalah.

Ia selalu kalah.