Momentum.

Tags: Haikyuu. F/M Pair. Tanaka Ryuunosuke. Shimizu Kiyoko. Idol!Kiyoko. TanaKiyo. Harsh words. Insecurity. Fluff. Ditulis dalam bahasa Indonesia, sudut pandang orang ketiga.

Pengingat: Fiksi ditulis untuk hiburan semata, tidak berkaitan dengan cerita asli.


“Hah, gila. Berisik.”

Kasut usang yang sudah seharusnya diganti dipandanginya sembari duduk membatu dilanda jemu. Di sana ia bertahan dalam ketidaknyamanan, ditemani canda tawa yang seolah mencela. Hiruk pikuk dunia sekelilingnya terasa seperti mereka berada di galaksi yang berbeda.

Asing.

“Ide lo nih, ngapain coba gue ikutan acara beginian.”

Yang diajak bicara hanya tertawa. “Trus lo maunya ikutan apa? Pengajian?”

“Lo belum tau aja hidup jadi beban tuh gimana. Jadi badut tapi nggak dibayar.” keluhnya. “Udah ah, gue mau pulang. Goblok orang-orang semua.”

“Lah ngambek.” Nishinoya tertawa lagi. “Yaudah, pergi sana. Awas nyesel lo, the best part is yet to come.”

Tanaka hanya tersenyum kecut, namun kakinya tetap beranjak dari tempat itu sesegera mungkin.

Jengah Tanaka berada di ruang rias ini; semua orang bersolek diri dengan Dior, Balenciaga atau apalah, yang ia sendiri baru tahu harganya bisa mewujudkan angan: kepemilikan rumah dan usaha kecil untuk mencari makan.

Mereka semua terlihat gagah, jelas dengan karir dan masa depannya. Setidaknya mereka tahu ingin melakukan apa. Tanaka yang berjalan tanpa kompas di tengah hutan belantara bisa apa?

Berjalan cepat hingga kanan kiri mengaduh, derap itu akhirnya terhenti bersama jalannya waktu.

Rambut biru tua selaras sepasang netra di bawah bulu mata yang lentik, bibir tanpa senyum yang membuatnya hadir bak misteri, dan jaket kulit kontras dengan rona kulitnya. Sosok yang ia kira hanya bisa disaksikan di majalah toko buku persimpangan jalan, maupun dari balik jendela kelas sejak masa putih abu.

Tanaka termangu. Dalam hati memuji segala Tuhan untuk peluang itu.

“Sori, lo nggak apa kan?” yang menabrak mengulurkan tangan.

Salahkan semesta telah mengacaukan titik temu, namun bualan jika Tanaka menyangkal bahagia yang menggelitik hatinya. Tak peduli akan buta, terang itu diserapnya dengan sepasang mata penuh harap.

“Kalau lo ngerasa sori, wanna have a drink with me?

Saling pandang, entah darimana kepercayaan diri itu datang.

Anjing, tolol banget.

“Sori, lupain aja. Barusan gue ngigau, kayaknya kebanyakan minum.”

Tanaka sudah bersiap ditinggal pergi setelah memperkenalkan dirinya sebagai maniak dan pembohong ulung. Meski begitu, semesta berada di pihaknya. Sang gadis tertawa kecil, matanya menyipit sebab pipinya yang menggembung lucu.

Tanaka bersumpah selamanya saat ini akan terpatri.

“Kesempatan.” ia mendengus pelan. “Sini, hp lo.”

Seperti terhipnotis, Tanaka melakukan apa yang gadis itu pinta. Matanya tak lepas darinya, seolah takut sosok di hadapannya lari mencuri jantungnya, satu-satunya harta yang ia miliki sekarang selain kasut butut dan ponsel zaman dulu.

“Sori, gue buru-buru. Lo atur aja kapan. Gue tunggu, Tanaka.” ucapnya dengan senyum sebelum meninggalkan Tanaka yang membatu pangling.

Mengumpat bodoh sana-sini, tanpa sadar bodoh itu adalah dirinya sendiri. Memandangi ponsel lawasnya dengan tangan gemetar, nama Shimizu Kiyoko membuat benda itu seolah artefak kuno yang layak dimuseumkan.

Dia tahu nama gue.

“Bangsat. Barusan tadi apa?”

Hah, gila. Tanaka bisa gila.