Nuansa.

/nu·an·sa/ n. kepekaan terhadap, kewaspadaan atas, atau kemampuan menyatakan adanya pergeseran yang kecil sekali (tentang makna, perasaan, atau nilai);

Tags: Haikyuu. F/M Pair. Sawamura Daichi. Michimiya Yui. DaiYui. Fluff. Ditulis dalam bahasa Indonesia, sudut pandang orang ketiga.
Word count: 616.

Dasar manusia tak pernah puas, Daichi adalah kasus yang Yui tangani begitu tekun—suara dari lelaki itu tak cukup menjadi jawaban. Yui itu tamak, rakus ketika berhadapan dengan misteri.

Seperti saat ini, mereka sedang duduk berdua di minimarket—ditemani mi instan dan kopi susu—menonton langit Yogyakarta menangis. Terima kasih untuk Sugawara, tim suksesnya yang selalu bisa diandalkan untuk memberi kesempatan baginya yang terlalu cupu.

“Maaf ya, harusnya aku siapin kopian proposalnya dari awal.”

“Santai aja.” lelaki itu melempar senyum. “Lagian udah lama nggak nontonin hujan begini. Tenang juga.”

Yui mengangguk setuju sambil menyeruput kuah mi perisa soto. Memang paling pas jika dinikmati saat hangat.

“Deras juga.. Bumi kesakitan nggak ya?” gumamnya, cukup keras untuk didengar Daichi.

“Pernah baca, katanya daun yang jatuh tak pernah membenci angin. Mungkin bumi juga gitu.”

“Oh? Kamu baca Tere Liye juga?” Yui menatapnya tak percaya. “Kupikir kamu nggak tipikal pembaca buku.”

“Iseng aja. Ibuku suka baca buku.”

“Keren.” puji Yui tulus, mengingat ibunya lebih suka menonton acara gosip di televisi daripada membaca—pengecualian untuk broadcast konyol yang diterima di grup keluarga besar.

“Mau aku kenalin?”

Bukan fakta baru, namun ini acap kali terjadi hingga buku harian Yui penuh kata-kata ini: Daichi piawai memainkan perasaan, bahkan tanpa terlihat mencoba.

Yui memutuskan untuk tertawa saja sembari mengontrol gejolak hatinya, meskipun ia penasaran setengah mati bagaimana reaksi Daichi jika ia jawab bersedia.

Palingan juga senyum aja.

“Hujannya reda tuh, balik yuk? Aku anter.”

“Adikmu nggak dijemput?”

“Udah balik sama Ibu naik mobil.” Daichi mengambil kunci motornya.

“Maaf lagi, kamu malah jadi nganter aku pulang. Aku pesan ojol aja ya?”

“Udah ah, maaf-maaf terus. Kayak sama siapa aja.”

Siapapun tolong hentikan lelaki ini.

Yui mengangguk lalu mengikutinya. Namun belum sempat membuka pintu keluar, Daichi berhenti.

“Dingin.”

“Memang.” jawab Yui. “Terus itu jaketnya kenapa dilepas?”

“Dipakai kamu aja.”

Astaga.

Yui tidak tahu seberapa kacau rupanya saat itu, namun kepalanya pusing dan ia lelah. Debar jantungnya memburu, padahal ia bukan sedang penalti keliling lapangan sekolah.

“Nggak bisa gitu. Anginnya kan kena kamu duluan, masa yang dibentengi aku sih?”

“Cuma sepuluh menit.”

Yui menghela napas sebelum akhirnya setuju, takut-takut kalau hujan datang lagi dan mereka harus menunggu lebih lama.

Perjalanan yang hening, mungkin karena Daichi sudah berbincang cukup panjang dengannya. Terlebih hari itu terbilang melelahkan; menjadi siswa, pengurus ekskul, dan panitia perpisahan menyita banyak waktu dan tenaga.

Mereka tiba di depan rumah Yui. Sesegera Yui turun dan melepas jaket, Daichi lebih dahulu mencegatnya. Lengan Yui ditahan tangan nan beku.

“Nggak perlu.”

“Hah? Yang bener aja kamu naik motor begitu ke rumah! Tangan kamu pucat banget.” Yui mengomel.

Kalau saja Yui sekarang sedang tidak khawatir, mungkin ia sudah jingkrak-jingkrak kesenangan dan berpikir untuk menyimpan jaket wangi Daichi untuk sekian hari.

“Nggak jauh lagi kok.”

Jarak rumah kita sepuluh menit, kan? Dari minimarket aja dia udah sepucat ini, gimana sampai rumah?

“Oh! Aku ada ide. Tunggu disini. Sebentar aja. Jangan pergi loh.” Yui mengoceh sambil berjalan ke dalam rumah, sesekali menoleh ke arah Daichi yang terlihat bingung.

Benar saja, tak sampai dua menit Yui sudah kembali dengan hoodie putih polos miliknya.

“Kalau aku pikir-pikir jaket kamu kan bekas aku ya, pantes kamu nggak mau pakai. Besok aku balikin ya? Kamu pakai punyaku aja dulu, bersih kok baru dicuci. Nih.”

Daichi memandangi sosok di hadapannya. Tidak ada hal lain selain kecemasan di wajah itu, bibirnya sedikit manyun dengan tubuh berselimut jaket miliknya.

Syukurlah dia tidak benar-benar melihat gadis itu sebelum mengantarnya pulang. Bisa-bisa ia menjadi manusia jahat, mengharap tangis langit tak berhenti sebab hatinya bahagia karenanya.

Daichi tertawa.

“Maksudku nggak gitu sih, tapi ini boleh juga.” Daichi mengelus kepala Yui, lalu memakai hoodie itu.

“Yaudah, aku balik.”

“Hati-hati.” Yui tersenyum, melambaikan tangannya yang separuh tertutup jaket.

“Oh iya, Michimiya?”

“Iya?”

“Jaketnya dibalikin kapan-kapan aja.”