Rahasia.

Tags: Haikyuu. F/M Pair. Azumane Asahi. Writer!Asahi. Aihara Mao. AsaMao. Fluff. Ditulis dalam bahasa Indonesia, sudut pandang orang ketiga.
Word count: 416.

ditulis untuk event #July500 di Twitter; terinspirasi dari lagu Rahasia — Payung Teduh.


Asahi duduk termangu, ditemani kedip kursor yang merindu atensi. Semua ini asing baginya; ia penjelajah dari negeri nun jauh, berkelana meraba peta tanpa kompas menatar arah.

Ia kebingungan. Begitu mudah menyerahkan segalanya ke tangan kecil yang belum pernah ia genggam—terik, rintik, pelik—dunianya lepas kendali sejak wanita itu mendeklarasikan presensi.

Bahkan membuat jemarinya enggan menari—bukan sebab benak tak sanggup melawan, namun sukmanya ampuh ditawan.

Dipandanginya secarik kertas itu. Kata-kata meresahkan hati walau sebatas khayal.

Reuni Akbar.

Sudah pasti bunga itu akan ia temukan, lantaran kala sang surya mengudaralah indahnya mekar berseri.

Apa boleh rembulan merindu kala siang tak memberinya tempat?

Terlanjur berjanji, Asahi akhirnya memantapkan diri untuk menghadapi hitamnya. Toh, bukannya selama ini bulan bersinar di kala malam?

Meski bumi dan awan selalu ada untuk menutupinya.


“Lo kenapa deh, grogi bener.” Sugawara menyikutnya.

Mungkin Asahi sedikit berlebihan dengan stelan jas, mengingat kaos oblong bersandingkan celana pendek dan sendal jepit adalah ciri khas penulis itu.

“Gue ngerasa aneh.” tukasnya.

“Makanya kurangin di rumah mulu, nulis di kafe kek.” saran Daichi.

“Atau coba pacaran.” Sugawara tertawa. “Gue jamin seenggaknya lo mikir isi lemari lo butuh perhatian.”

Bukannya terobati, cemasnya malah semakin berbangga diri. Ia benci bicara cinta, jengah dengan monolog tanpa epilog.

“Enteng bener ngomong begitu.” celetuknya. “Kayak dia demen sama gue.”

Dialog terhenti. Sepasang tuan dan puan tegak berdiri memegang kendali, bertutur kata sesuai rentetan acara yang tersusun rapi.

Ia masih sama, masih sederhana namun menggugah atma. Balutan gaun menyentuh tumit, rambut terbebas dari kuncir yang kala putih abu selalu bersama hingga akhir.

Lihat? Bagaimana mungkin mereka melihatnya dan tidak jatuh hati?

Seolah terbebas dari belenggu, Asahi meraih ponselnya. Mengetik segala kata yang muncul kala ditatapnya sosok itu dari jauh, segala apresiasi dan puji—walau kamus tak cukup ampuh melegakan hati yang penuh.

Mereka saling bertaut tanpa berusaha mendominasi, merajut hasrat dan angan si buta yang mendamba nyala.

“Sibuk banget, pak penulis. Lagi ngetik apa sih?”

Dua pasang netra berjumpa.

Torehan bait-bait hanyalah omong kosong kala ditatapnya molek itu. Lidahnya kelu, yang terdengar hanya teriakan batin sekeras geming. Diserbu seribu satu candu dalam satu waktu, termasuk jantungnya yang kian memburu.

Semua karena wanita itu begitu tenang dan cantik, begitu lembut suara itu menyapanya. Begitu dekat, hingga aroma wewangian akar wangi favoritnya sejak zaman SMA menggelitik hidung.

Bingungnya sirna. Ia yakin tak ingin lepas dari jerat wanita itu—ia ingin tumbuh indah merambat, saling mengikat, menolak berpisah.

Mati-matian Asahi menyimpan semua rasa di balik air muka datar tanpa makna, mengharap semesta sudi izinkan ia bersembunyi.

“Asahi?”

Dia jatuh cinta.

“Rahasia.”